Balada Rumah Sakit (3)

Cerpen

“Bagaimana, Bu? Albuminnya drop sekali. Harus segera diganti.”
Suara dokter visite pagi ini membuatku tersentak. Menatap keluarga pasien yang melihat ke arah dokter dengan sendu.
“Tapi, harganya satu juta lima ratus untuk satu kantong, Bu. Satu kantong untuk satu hari pemakaian. Apa ibu sanggup?” sang dokter bertanya hati-hati, agar tak menyinggung perasaan pasien.
Seperti biasa, keluarga itu terhenyak, lalu menarik nafas dalam-dalam. Wajah-wajah itu berkabut.
“Kami tidak sanggup, Pak.”
“Hmmm….bagaimana ya? Dari gizi bagaimana? Ada antisipasi?”
“Bisa, Pak. Dengan ikan gabus rebus. Tapi, akan sangat lamban kenaikannya. Untuk porsi ini enampuluh ribu sehari.”

Fiuff…
Aku menarik nafas dalam. Ini bukan kali pertamanya aku menghadapi kondisi pasien yang seperti ini. pasien kurang mampu yang membutuhkan asupan zat yang masya Allah mahalnyaaa. Sering aku kemudian menyeka air mata di belakang rombongan visite ini.

Sungguh, aku serba salah. Di bagian ini, aku memang bertanggungjawab terhadap pengobatan pasien. Di satu sisi, pasien sangat membutuhkan obat itu dan tugaskulah mengurusi obatnya, tapi di sisi lain, pasien kurang mampu yang tak punya uang begituu. Aku tentu tak punya wewenang untuk memberikannya secara gratis. Aah…, sungguh, aku sangat dilemma. Hati ini sangat ingin membantu si pasien yang terbaring lemah. Ia membutuhkannya. Tapi ia tak sanggup membeli. Dan aku pun tak bisa menutup mata, bahwa banyak pasien yang kemudian meninggal dunia karena tak mendapatkan obat ini (Salah satu contohnya albumin ini). Aah…, sungguh, hatiku sangat ingin memberikannya karena memang tanggungjawabku. Tapi, harganyaa? Harganya bagaimana? Bahkan gaji bulananku tak cukup untuk membiayai satu kantong saja. dan yang pasti si pasien butuh lebih dari satu kantong.

Jika sudah begini, aku hanya bisa menahan pilu. Menatap keluarga-keluarga pasien yang seolah-olah telah “merelakan” saja, “biarlah, lebih baik beliau kembali saja pada-Nya.” Apalah daya. Uang tak ada. Padahal, “kehidupan” si pasien sangat tergantung pada zat itu. Pada obat itu.

Ah, sungguh miris!

Jika sudah begini, aku sungguh sangat heran, kenapa masih ada orang2 di belakang layar sana yang berani bermain2 dengan nyawa manusia!? Para mafia kesehatan! Apa persaannya sudah menyublim seluruhnya? Meski pun di rumah sakit ini yang kutahu tidak ada hal-hal seperti itu, tapi di tempat-tempat lain, itu masih saja ADA! Mereka, orang-orang itu, para mafia kesehatan yang berhati bajingan. Apa tidak mikir, bagaimana jika dia atau keluarganya yang berada di posisi itu?

Selain itu, aku hanya bisa berharap semoga kualitas kesehatan di negeri ini semakin baik dan semakin baik lagi. Agar, yang “boleh” sakit tidak orang kaya saja. agar orang miskin juga “boleh” sakit. Maksudnya, ada penyamaan pelayanan dan fasilitas yang diperoleh.
Semoga saja. sebab, hanya berharap yang bisa kulakukan.

0 Comment:

Post a Comment

Feel free to accept your comment. Spam comment will be deleted and blocked