“Detik, jam, hari, bulan, tahun berlalu… Jatah hidupku semakin berkurang. Bau-bau kematian semakin hari semakin mendekati hidungku.
Penyakitku… ya, memang, penyakit adalah salah satu penyebab aku ingat mati dalam usia belia. Namun, aku betul-betul tak ingin ingat mati hanya karena penyakit.
Tapi, aku selalu ingin mengingatnya karena Allah, yang membuatku semakin hari semakin menambah dan memperbaiki ibadah serta kebaikan.
Karena maut tidaklah datang hanya pada orang yang berpenyakit, tapi pada setiap makhluk yang tak tahu kapan dan dimana.”
Kutatap Tulisan Itu. Lama. Tak terasa bulir-bulir itu kembali menganak sungai. Sungguh, sebenarnya aku tak ingin menangis. Tak ingin. Tapi, aku tak dapat membendungnya.
*****
Malam itu, rumah tiba-tiba menjadi ramai. Bukan! Bukan tamu biasa! Walaupun rumah selalu ga pernah sepi dari tamu, tapi kali ini berbeda. Mereka hanya ingin melepas kepergiannya untuk melanjutkan pengobatan. Ke pusat regional Jantung, RSUP M.Djamil Padang.
Kondisinya cukup parah. Ada tachycardia. Ada udem. Ada nafas yang tersengal. Digoxin tak lagi mampu menahannya. Organ paling penting itu berdenyut jauh lebih cepat dari biasanya. Tapi, satu yang ga dia lupa. Allah.
Esoknya, yaaah…esoknya ia akan melakukan control di pusat regional jantung RSUP M. Djamil, bukan lagi di Yayasan Jantung Indonesia seperti biasanya, ditemani ibu dan ayah. Yang biasa rutin untuk dilakoninya sejak kelas IV SD. Tapi kali ini, agaknya lebih parah dari sebelumnya.
Umurnya, sungguh kala itu masih sangat belia. Menjelang sweet seventeen. Seumuran remaja yang sedang menjacari jati diri. Remaja di masa pubertas. Di masa adolensia. Tapiii, dia jauh lebih mengenal jati dirinya! Jauh lebih mengenal bahwa dia hanyalah seorang hamba Rabbnya. Prestasinya dalam mengenali jati diri ini sungguh jauh meninggalkan teman-temannya yang kala itu masih memikirkan dunia remaja yang gemerlap, membicarakan cowok, mengoleksi berbagai majalah remaja, dandanan dan apapun itu yang berhubungan dengan kemasakinian remaja. Juga, jauh di atasku! Aaah, dia sudah sangat jauh dari itu! Sudah sangat jauh!
Otaknya yang cemerlang! Ia sungguh jauh lebih baik dariku. Lebih dewasa dariku. Lebih cerdas dan jauh lebih berakhlak mulia ketimbang aku. Dia juga sangat mencintai anak-anak, jauuuuh melebihi aku! Dengan kondisi kesehatannya yang bermasalah sehingga harus mengkonsumsi obat seumur hidup dan harus meninggalkan sekolah setiap bulan untuk cek-up, dia masih berhasil untuk menjadi pemuncak sekolah. Dia, seorang juara umum! Kecerdasan yang bagiku luar biasa, bahkan ketika kondisinya tidak lebih baik dari temen satu sekolahnya, teman2 sekelasnya dia masih bisa meraih posisi puncak…
Dia juga berhasil memenej emosionalnya. Ia lebih dewasa dariku. Perhatikan tindakannya, ketika salah satu teman sekelasnya memberi tahu bahwa ada yang memandangnya dengan tak bersahabat, dan temannya itu membela dia. Tapi dia malah mengatakan, “Sudahlah, sangat berpikiran negative dulu sama teman itu sebelum kita mengenalnya lebih dekat.” Dan benar saja, Setelahnya, mereka malah bersahabat dengan teman itu. Di lain hal, pernah ada seorang temannya yang laki-laki yang sekelas dengannya menelfonnya. Kebetulang yang mengangkat telfon adalah ibu. Tapi, si teman cowoknya itu menganggap yan menjawab adalah dia. Temannya itu mengucapkan kata-kata puitis begitu, hingga akhirnya ibu bilang kalo ini ibu, bukan dia. Langsung telpon ditutup dengan segera, mungkin karena teman cowoknya itu malu. Besoknya dia tetap pura-pura tak tahu atas sikap teman cowoknya itu, agar temannya tidak merasa malu. Ah, dia sungguh bijaksana.
Mari kuceritakan bagaimana aktifitas sehari-harinya. Pagi-pagi sekali, sebelum subuh melaksanakan qiyamullaial. Lalu ba’da subuh, dia tilawah dan membaca pelajaran yang akan diajarkan hari ini. Lalu, ke sekolah hingga sore. Malamnya, ba’da maghrib, dia mengajari adik2 membaca AL Qur’an. Lalu, menuliskan hafalannya di papan tulis. Baru ba’da isya dia belajar lagi. Tampaknya, dia sungguh menikmati aktivitasnya itu, betapapun kondisinya tidak lebih baik dari manusia sehat lainnya.
Maka, pagi itu sebelum keberangkatannya menuju Padang…pagi yang tak biasanya, pagi yang…bagiku kelabu. Gerimis. Sungguh, ada gerimis di hatiku.
Ia terbaring satu bulan lamanya. Perlahan, kondisinya mulai membaik. Tak ada udem lagi. Meski jantungnya mesti harus bekerja lebih keras.
Aku bahagia! Aku bahagia dengan perkembangan kondisi fisiknya yang mulai membaik. Setidaknya sama dengan kondisi ketika hari-hari biasa. Kunikmati hari-hari yang sejenak itu bersamanya. Kami bercerita. Kami tertawa. Menertawakan masa kecil kami yang ceria. Berceritaaa apaaa sajaa. Saling menyetorkan hafalan (dan hafalanku yang sangat tak seberapa!)
Tapi…, tiba-tiba, gerimis kembali datang. Kondisinya kembali memburuk. Ooh, ada udem lagi. Dan, lagi-lagi dia harus dibawa ke Padang. Lagi-lagi. Aku tak bisa ikut menemaninya, betapapun sangat inginnya aku. Aku harus kembali ke asramaku. Aku harus kembali belajar, dan tak ingin dia mengganggu belajarku.
*****
Sehari sebelum cek up lagi ke RSUP M. Djamil, Padang, ayah, ibu dan dia masih sempat bercengkrama kecil. Ayah membelikannya majalah Hidayah. Kala itu ada kisah tentang kematian. Keinginannya untuk makan mulai meningkat. Ayah dan ibu bahagia kala mengetahui dia mulai mau makan dan membelikan beberapa potong mangga, seperti yang diinginkannya.
Esoknya, kondisinya sudah semakin menurun, meskipun kesadarannya sangat bagus! Sangat bagus! Di kala orang-orang dengan kondisi demikian sudah pada tingkatan kesadaran soporous (tak mengenal lagi kondisi sekeliling), dia justru masih sangta sadar.
Siang di RSUP M. Djamil, sang dokter menjelaskan, “sebenarnya sudah cukup terlambat untuk dilakukan operasi, tapi insya Allah masih bisa. Kita bisa datangkan dokter dari Harapan Kita asalkan sudah ada lima orang yang berpenyakit sama. Dan sekarang baru ada tiga orang.”
Ayah berkata, “Kami tak mau menunggu lagi, Pak. Biar kami saja yang langsung ke Harapan Kita.”
Dan, siang itu, dilakukan semua urusan administrasi sebagai rujukkan ke Harapan Kita. Dalam pilu, ada secercah harapan di hati ayah dan ibu, “Insya Allah ada harapan untukmu sembuh, Nak.” Kata Ayah dan Ibu.
Sore itu, dia, ayah dan ibu kembali ke penginapan lagi. Tapi, tiba-tiba, kondisinya sudah semakin parah.
“Ibu, ayah, aku merasakan kesakitan di seluruh badanku. Perutku…perutku…, sakit sekali.”
“Sabar ya Nak.” Ibu dan ayah sudah bercucuran air mata. Tidak tahu lagi harus berbuat apa. Tapi, justru kemudian, dia yang mengingatkan ayah dan ibu untuk tidak bersedih.
Setelahnya, dia minta diantarkan untuk berwudhu’. Ayah dan ibu menggendongnya ke kamar mandi.
“Apa yang kau rasakan, Nak?” Tanya ayah.
“Aku tidak punya daya lagi ayah, ibu…” katanya.
Beberapa saat setelah itu, dia pun melakukan sholat. Masya Allah, ketika sholat itu, justru..justru sangaaaaaaaaaaaaat tenang sekali.
Setelah selesai sholat, tiba-tiba kembali ia merasakan kesakitan di seluruh badannya. Ia berpegangan pada ayah dan ibu.
Dalam tertatih, dia mengatakan,
“Ayah…ibu…, maafkanlah segala kesalahanku. Do’akanlah aku dimudahkan untuk menghadapi sakaratil maut.”
Tangis ibu semakin pecah.
“Sudahlah Bu, kita ikhlaskan yaah.” Kata ayah, pun dengan tangis.
“Nak….ingat Allah yaaa.”
Dan dia masih sempat menjawab, “Ya ayah…”
Allah….
Allah….
Allah…
Allah…
Kalimat itu terus diucapkannya...terus…dan terus…, tak terputus lagi…hingga pada tarikan terakhir dia berpegangan sangat kuat pada ayah dan ibu, menahan sakitnya sakaratil maut yang sangat luar biasa.
Innalillahi wa inna ilaihi rooji’un,
Dia kembali dengan menyebut nama Allah…
Pandangan matanya, mengikuti arah kanan sebelum keduanya terkatup untuk selamanya. Lalu, di bibirnya… Masya Allah, terukir senyum….terukir senyum yang sangat indah!
Sangat indah…
Masya Allah…
Sungguh, dia pergi dengan kepulangan yang indah. Dengan akhir yang sangat indah. Seusai sholat. Seusai meminta maaf dan keridhaan orang tua. Dan dengan menyebut nama Allah…
Wahai Allah, tempatkan dia di tempat yang mulia di sisi-Mu ya Rabb. Ya Allah…
*****
Aku –ketika menerima berita duka yang teramat sangat itu—berada di perpustakaan daerah. Sungguh, aku tak dapat mencegah bulir-bulir yang menganak sungai itu lagi. Sungguh!
Perjalanan 6 jam untuk sampai di rumah, di kampung, terasa sangat lama bagiku. Sangat lamaa.
Aku…sungguh sangat ingin bertemu jasadnya. Untuk terakhir kalinya.
Ooh….
Terpaku aku dihadapannya. Dihadapan tubuh kaku itu. Di hadapan seseorang yang jauh lebih menginspirasiku ketimbang siapapun yang pernah aku kenal. Ia lebih dari skedar saudara, lebih dari sekedar adik. Ia juga sahabatku! Dan, ia bahkan jauh lebih baik dari sahabat! Bagiku, dia adalah separuh jiwaku. Rahasiaku adalah rahasianya. Aku mencintainya. Tapi… Allah jauh lebih mencintainya
Aku tatap tubuh kaku itu. Tubuh kaku dengan seukir senyum di bibirnya. Wajahnya putih bersih.
Tiba-tiba saja, kenangan itu menyeruak di benakku tanpa bisa kucegah,
“ipi, yuuk…kita saling sambung menyambung hafalan.” (kala itu, bahkan dia punya hafalan lebih banyak dari aku, padahal dia tidak tinggal di lingkungan asrama yang mengharuskan semua orang menghafal. Tapi, azzamnya jauh lebih tinggi ketimbang aku. Dan, dia menerapkan metode sambung menyambung hafalan, untuk muraja’ah. Misalkan An-Naba’, dia ayat pertama, aku ayat kedua, dia ayat ketiga, aku ayat keempat…dan seterusnya. Dan, kala itu hafalanku belum sejauh dia, maka pada akhirnya dia yang menyelesaikannya, karena kau tak lagi hafal.”
Kenangan itu kembali berputar…
“ipi, sabar yaaaah. Pasti akan ada hikmahnya.” Ketika aku mengeluh, kesal dan marah.
“Ipi…, semoga ipi semakin bejaksana dalam mengarungi samudra kehidupan ini.” (ini pesannya di ulang tahunku yang ke-17. Sebuh hadiah terindah sekaligus hadiah terakhir darinya)
“ipi…di Al Ma’sturat ini, ada do’a untuk minta disehatkan jugah yaah. Pengin baca dulu aaah”
“ipi…, tolong ambilkan jilbab yaaa, takutnya nanti ada tamu laki-laki menjenguk. Pengin pake jilbab terus biar ndak susah lagi pake-pakenya kalo tamunya datang.”
“ipi…”
Yah…., “ipi”, panggilan special darinya!!
Aaah….
Bulir bening itu semakin menganak sungai…
Aku berdo’a, semoga dari ratusan orang yang ikut menyolatkan jenazahnya itu, dapat membebaskannya dari siksa kubur.
Kini, 6 tahun sudah masa itu berlalu. Sejak April 2004 yang lalu. Kini sudah april 2010. Kutuliskan ini, bukan berarti aku tak mengikhlaskan kepergiannya. Bukan! Allah lebih mencintainya, dan Allah lebih tau apa yang terbaik untuknya. Tapi, aku hanya ingin, kisah kepergiannya ini mengingatkanku, mengingatkan bahwa aku PASTI akan menyusulnya. Dan, aku pun ingin, kisah kepergiannya ini menjadi inspirasi bagi siapapun yang membaca kisahnya.
Akankah akhir kehidupanku bisa sepertinya jua?
Akankah?
Sungguh, aku tuliskan ini, sebagai pengingat, terutama bagi diriku bahwa jika aku hendak “mendesain” ending yang baik dari kehidupan ini, maka butuh ikhtiar. Sungguh, dunia ini hanyalah sejenak. Sejenak, tapi sangatlah menentukan! Menentukan akan kemana nantinya.
Ya Allah, jadikanlah aku orang yang senantiasa Engkau jaga ya Rabb…Sungguh, tak ada yang dapat menjagaku selain Engkau…
*****
Untuk Yuna-ku sayang, kenangan indah bersamanya yang mungkin takkan terlupa. Aku pun ingin mengakhirinya dengan cara yang indah, Dek. Aku pun sangat ingin mengakhirinya dengan indah… sama sepertimu.